Liputankini.com-Sampai juga saya di Tokyo. Kota merek segela merek itu, menyambut tetamunya dengan suhu 5 derajat. Senin (14/1/2019) masih pagi, tapi kuil Asakusa, destinasi wisata paling populer di sana, tenggelam dalam lautan manusia bermantel tebal-tebal.
Wisatawan yang suaranya mendengung dan sudah tak jelas itu, disergap Kaminarimon, lentera raksasa 700 kg. Landmark itu dikerumuni manusia. Sehabis dari sana, saya ke Tokyo Skytree, yang tingginya 634 meter. Benar-benar menengadah dibuatnya, tapi saya tak naik. Main-main saja di tepian sungai Sumida. Memandang kapal hilir mudik, memotret merpati, jinak makan di tangan.
Lelah jalan-jalan, saya dan anak saya Seruni, berpisah. Dia mau membeli benda-benda kecil, saya mau ngopi. Masuk ke resto Miami Garden, satu lantai di bawah tanah. Secangkir kopi sumatera diseduh di Tokyo, benar-benar nikmat. Serius.
Semua tempat yang saya kunjungi berdampingan dan semua penuh sesak, kecuali Miami Garden. Di sini nyaman dan hening.
Saya datang ke Tokyo menumpang pesawat Garuda. Berangkat pukul 00.00 dari Jakarta sampai pukul 07.00 WIB. Jepang dua jam lebih cepat.
Bagi wisatawan, proses imigrasi menjadi hal amat penting, susah atau mudah. Di bandara Haneda, mudah.
Maka dari bandara saya menuju jantung Tokyo, ternyata obyek wisata penuh oleh pengunjung. Tak susah cari tempat tukar uang, karena ada ATMnya. Saya masukkan Rp50 ribu, mencoroh koin. Eps bisa rupanya.
Sehabis dari sini kami cari makan, seperti hanamasa disukai kaum urban perkotaan. Kompor di atas meja.
Di beberapa tempat ada brosur wisata, tak saya baca. Panek. Naik mobil menuju mall. Jaket tebal saja dijual orang, tentu tak kami beli. Wisatawan Jepang menyerbu Tokyo, juga dari Amerika dan negara-negata Asia. Kami melaju di atas beraspal tanpa sampah. Di Tokyo tak ditemukan tong sampah, sebab sampah, siapapun dia, dibawa pulang. Oke kalau begitu, maka sampah pun kami masukkan ke dalam plastik dibawa ke penginapan. Metrpolitan Hotel, bintang 4. Saya dan anak saya diberi kamar di lantai 20 dengan kaca jendeka kaca yang luas.
Tapi ini belum balik ke hotel. Raun dulu.
Saya pernah menonton film kisah seekor anjing yang setia. Amat setia pada tuannya. Ia selalu menunggu tuannya di stasiun. Ketika tuannya meninggal, binatang piaraan ini tetap menunggu di titik yang sama. Itulah anjing jangan bernama Hachiko. Anjing ini menunggu amat lama, hari demi bulan demi tahun di Stasiun Shibuya, Tokyo.
Waktu saya ke sana tentu saja anjing ini sudah tak ada. Yang ada patungnya. Stasiun itu ada di bawah tanah sekarang. Di atasnya jalan bersimpang empat dengan taman yang luas dan penuh sesak oleh pengunjung. Berfotolah kami di sana. Berkali-kali.
Hachiko hidup November 1923- sampai Maret 1935. Kisahnya terkenal di seluruh dunia. Karena amat setia pada tuannya yang profesor berbilang tahun, maka anjing tersebut disayangi publik Jepang.
Di depan parung perunggu binatang piaraan itu saya sempat berfoto. Selepas dari sana, dicoba masakan Malaysia. Kenyang, mata mengantuk, kembali ke hotel
Tokyo adalah kota hebat, kaya, bersih, tertib dan aman. Metripolitan ini berpenduduk 38 juta jiwa dan hampir semua warganya bergegas. Menyeberang jalan bagai lebah lewat, menderu. Tertib dan taat aturan, serta menghargai tamu. Mereka yang sebanyak itu, tak pernah buang sampah
Ketika saya makan siang tadi, gempa menguncang. Mungkin 5 SR, lebih menderita dari Padang.
Tapi sudahlah, mata sudah mengantuk, saya nikmati hotel cantik ini dulu.
(*)