Baliho salah seorang calon Gubernur Sumbar. |
Saat Pemilu 2019 lalu KPU melarang parpol berkampanye di media, baik elektronik maupun cetak. Aturan ini diperuntukkan bagi partai-partai peserta Pemilu 2019 selama masa jeda sebelum memasuki masa kampanye. Akankah aturan yang sama juga berlaku saat Pilkada 2020?
Terhadap aturan itu KPU serta Bawaslu juga telah menggelar rapat bersama Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Aturan larangan kampanye ini berlaku di jeda masa kampanye mulai dari penetapan partai peserta hingga memasuki masa kampanye pada 23 September 2018. Setelah kampanye, parpol tetap bisa berkampanye di media massa namun tetap sesuai dengan aturan KPU.
Kampanye sendiri pada saat itu akan berakhir pada 13 April 2019. Kampanye ini juga termasuk untuk calon anggota DPR/DPD/DPRD dan capres/cawapres. Pileg dan pilpres akan digelar serentak pada 17 April 2019.
Selain soal itu, rapat menghasilkan 3 kesepakatan lain diantaranya parpol diperbolehkan melakukan sosialisasi internal soal nomor urut partai di Pemilu 2014. Sosialisasi internal itu harus diberitahukan kepada KPU dan Bawaslu setempat secara tertulis. (Keputusan) ketiga, pemberitaan sosialisasi dan kampanye dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip proporsional dan keberimbangan.
Kesepakatan lainnya adalah keputusan dari rapat yang dilakukan akan ditindaklanjuti KPU dengan memberikan surat ke partai-partai politik peserta Pemilu 2019.
Dalam aturan itu mars partai politik menjadi salah satu yang dilarang untuk ditampilkan di media. Selain itu, advertorial partai politik di media massa termasuk yang dilarang.
Aturan kampanye itu juga merambah sampai ke Kota Solok, Sumatera Barat (Sumbar). Menurut Ketua KPU Kota Solok Asraf Danil, setelah masuknya masa kampanye sejak 23 September 2019 lalu, hingga masa tenang pada 14 April 2019, banyak aturan yang harus diketahui Caleg dan Parpol peserta Pemilu, seperti jadwal dan tata cara alat peraga kampanye, dan larangan-larangan yang harus dihindari Parpol dan Caleg.
“Masa kampanye berlangsung sejak 23 September lalu hingga 13 April 2019. Meski sudah masuk masa kampanye, ada aturan-aturan yang harus diikuti seluruh peserta Pemilu. Seperti kampanye terbatas, tatap muka, penyebaran alat peraga, rapat umum, iklan media cetak dan elektronik. Seluruhnya ada aturan dan ada Bawaslu yang akan melakukan tindakan,” ungkapnya.
Sementara Komisioner KPU Kota Solok Ilham Eka Putra menjelaskan, pemasangan alat peraga kampanye, baliho dan spanduk, ada yang difasilitasi dan dicetak oleh KPU. Serta ada juga yang dicetak oleh parpol. Semuanya dikelola parpol dan calon senator, serta tim pemenangan Capres-Cawapres. Misalnya, baliho 10 buah dan 16 spanduk untuk tingkat Kota Solok. Serta baliho partai yang hanya boleh 5 buah per kelurahan.
“Dalam aturannya, di baliho yang difasilitasi atau dicetak oleh KPU, hanya boleh memuat foto dan jabatan di Parpol. Tidak boleh memuat foto dan nomor urut Caleg. Karena sejatinya, peserta Pileg adalah Parpol. Titik-titik pemasangannya juga ada aturannya. Seperti tidak boleh di tempat ibadah, fasilitas umum, fasilitas pemerintahan, pohon pelindung, asrama TNI/Polri, tiang listrik, tiang telepon, hingga gapura komplek,” katanya.
Tujuan fasilitasi KPU kata dia menambahkan, adalah agar ada keadilan. “Jangan sampai Caleg bermodal besar yang mendominasi,” ujarnya.
Sementara itu, Anggota Bawaslu Kota Solok Rafiqul Amin menyatakan pihaknya, di samping melakukan pengawasan dan penertiban proses dan alat peraga kampanye, juga sedang melakukan pemutakhiran data pemilih, yakni dengan melakukan sinkronisasi dan pemutakhiran data pemilih. Rafiqul juga menegaskan hingga saat ini, masih ada waktu perbaikan dan pengusulan calon pemilih ke KPU dan Bawaslu.
Itu bicara aturan tentang Pemilu, namun di masa Pilkada ini apakah aturan itu juga diberlakukan Menurut pengamat politik dari Universitas Eka Sakti Padang, Drs Tarma Sartima tentu ada bedanya.
Menurut mantan Dekan FIS Universitas Eka Sakti Padang, pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebagai sarana untuk membangun demokrasi di tingkat lokal yang sekaligus sebagai media bagi terjadinya proses sirkulasi elit politik, ternyata pada masa otonomi daerah yang diamanatkan dalam UU 32 tahun 2004, sangat tidak memungkinkan untuk terjadinya proses penguatan demokratisasi lokal.
Ia mengatakan, prasyarat minimal demokrasi adalah adanya keterbukaan dan partisipasi. Proses partisipasi politik dalam pilkada lebih tepat pada proses partisipasi politik yang bersifat semu dan bahkan banyak yang dimobilisasi, sehingga nyaris tidak ada partisipasi otonom yang dimiliki oleh rakyat.
Partisipasi rakyat yang relatif otonom kata dia, hanya pada momen mencoblos, sedangkan pada momen-momen lainnya partisipasi yang terlihat adalah partisipasi yang dimobilisasi.
“Seperti yang kita ketahui secara bersama, bahwa partai politik yang ada di Indonesia saat ini masih berwatak dan berkarakter sangat sentralistis dan oligarkis. Belum lagi ditambah dengan minimnya watak kedewasaan berpolitik di kalangan pengurus partai (politisi), sehingga peran politisi saat ini untuk mendorong dan mempromosikan demokratisasi di tingkat lokal masih sangat jauh dari harapan esensi demokrasi,” katanya.
Bahkan lebih ekstrim lagi kata dia menambahkan, para politisi di daerah lebih banyak menjadi beban bagi proses percepatan demokratisasi, karena acapkali mereka dalam aktivitas politiknya dan aktivitas pemerintahan-kenegaraan selalu kontradiktif dengan prinsip-prinsip yang esensial dalam demokrasi.
Ia mengatakan, watak parpol yang sentralistis dan oligarkis ini, tentunya sangat terlihat dalam proses pilkada, dimana parpol selalu mempunyai kuasa dan wewenang yang nyaris mutlak untuk menentukan calon maupun pasangan calon dalam pilkada, tanpa harus berkonsultasi atau berdialog dengan konstituennya.
Satu contoh kata dia, keputusan daerah atau cabang suatu parpol dalam menentukan calon dan pasangan calon dalam pilkada dengan semena-mena dapat di “torpedo” oleh pimpinan pusatnya ketika calon yang diunggulkan di daerah tidak berkenaan dengan keputusan pimpinan pusatnya atau tidak cocok dengan ketua umumnya.
Padahal, kalau ditilik lebih jauh, proses demokrasi harus dimulai dari parpol. Realitas politik saat ini yang terjadi adalah banyak parpol yang tidak demokratis, baik dalam penentuan kebijakan partai maupun dalam proses pergantian kepemimpinannya,” kata Tarma Sartima.
Menurut Tarma, dalam politik modern pilkada adalah pemilu. Ketika rezim pemilu disubordinasikan pada rezim pemda (pemerintahan daerah), akhirnya banyak melahirkan kelemahan-kelemahan dalam membangun pondasi demokrasi lokal. Hal yang sangat terlihat misalnya seperti tumpang tindihnya pengaturan tentang pilkada, parpol tidak mempunyai mekanisme yang kuat dan mapan, karena UU yang mengaturnya sangat tidak jelas. Dan ketika terjadi pelanggaran tidak akan bisa memberikan sanksi yang maksimal pada pelanggarnya, karena delik cukup samar.
Menurut Tarma, pilkada merupakan proyek terbesar dari perjalanan demokrasi Indonesia.
“Bagaimana wajah demokrasi Indonesia di masa yang akan datang sangat ditentukan pula oleh berjalannya agenda pilkada,” kata Tarma Sartima. (Rangga/MJ)