Tahun 2010 lalu, Majelis Antarparlemen ASEAN sedang membahas kemungkinan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN. |
Dalam perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN yang dikenal dengan MEA, Bahasa Indonesia dianggap layak sebagai bahasa pengantar resmi. Peluang itu terbuka lebar, sebab usulan ini juga pernah disampaikan pada Sidang Umum Majelis Antarparlemen ASEAN (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly, 10 tahun lalu.
Belakangan bangsa Indonesia begitu akrab dengan istilah MEA, yang merupakan singkatan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN. MEA ini merupakan bentuk kerjasama antar anggota negara-negara ASEAN yang terdiri dari Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Perjanjian kerasama yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah ASEAN Economic Community (AEC), telah dimulai semenjak memasuki tahun 2016. Dengan adanya diberlakukannya kerjasama ini, itu artinya pemberlakuan perdagangan bebas di kawasan ASEAN telah dimulai. Sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN. MEA dirancang untuk mewujudkan Wawasan ASEAN 2020.
Dengan diberlakukan MEA ini, perbincangan hangat tentang bahasa resmi yang akan digunakan sebagai bahasa pengantar di ASEAN pun hangat dibicarakan.
Beberapa ahli bahasa di Indonesia meyakini bahwa bahasa Indonesia berpeluang besar akan menjadi bahasa resmi di ASEAN. Kemudian, kata para ahli, bahasa Melayu juga berpotensi menjadi bahasa resmi ASEAN.
Namun, pakar bahasa dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Dr Suhartono SPd MPd menilai Bahasa Indonesai berpotensi menjadi Bahasa ASEAN pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut. Katanya, setidaknya ada empat argumentasi yang ilmiah, meski pemerintah masih perlu melakukan diplomasi.
"Keempat argumentasi itu adalah Bahasa Indonesia itu sudah banyak dipelajari pada banyak negara, mudah dikuasai, laju perkembangannya fantastis, dan sebagaian kosa kata Indonesia juga ada di dalam bahasa negara-negara ASEAN," katanya pada wartawan.
Cuma katanya lebih jauh, bedanya distribusi Bahasa Indonesia tidak merata seperti Bahasa Melayu yang ada di Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan. “Kendati demikian Bahasa Indonesia di Indonesia sendiri sudah mencapai 60 persen pengguna di tingkat ASEAN,” terang Dr Suhartono.
Ia menyebutkan, walaupun Bahasa Indonesia tidak merata seperti Melayu, tapi kosa kata Indonesia ada pada sejumlah negara ASEAN, seperti candra di Kamboja dan Indonesia sama-sama berarti rembulan, atau bum atau land di Thailand yang di Indonesia mirip kata bumi atau tanah," katanya.
“Bahkan, kosa kata di Thailand juga mirip kosa kata bahasa daerah di Indonesia, seperti suwarna di Thailand yang berarti emas dan dalam Bahasa Jawa juga berarti emas. Atau, kodang di Thailand juga mirip gudang dalam bahasa kita," ungkap Dr Suhartono
Dr Suhartono menyebutkan, Bahasa Indonesia yang tidak merata dalam sebaran seperti Bahasa Melayu, namun lebih mudah diterima dan sudah lama menjadi bahasa komunikasi di tiga negara yakni Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Di luar itu, Bahasa Indonesia juga sudah banyak dipelajari di Jepang, Australia, dan negara lain di dunia.
Sementara itu, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Subandi, juga mengatakan bahwa Bahasa Indonesia berpeluang menjadi bahasaresmi ASEAN.
Bahkan katanya, peluang tersebut pernah disampaikan dalam pertemuan Asosiasi Program Studi bahwa menurut orang-orang di luar Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam paling mudah memang bahasa Indonesia, karena antara huruf dan bunyinya sama, beda dengan bahasa-bahasa yang lain.
“Malah saat itu orang Vietnam, Thailand, dan Kamboja lebih cenderung memilih bahasa Indonesia, di samping penuturnya juga lebih banyak karena ada bahasa Melayu. Dengan demikian, kemungkinan bahasa Indonesia menjadi bahasa pergaulan di era MEA itu sangat besar,” ungkap Subandi.
Subandi mengaku sangat mendukung jika bahasa Indonesia menjadi bahasa utama atau pergaulan di kawasan ASEAN yang telah memasuki era MEA. Apalagi orang luar negeri yang mau bekerja di Indonesia, memang harus bisa berbahasa Indonesia. Kalau belum bisa berbahasa Indonesia, buat apa bekerja di Indonesia, sama seperti tuntutan orang asing kalau orang Indonesia bekerja di luar negeri, yang dituntut harus bisa bahasa mereka.
“Dalam Hal ini pemerintah harus mewajibkan orang asing yang akan bekerja di Indonesia harus bisa bahasa Indonesia. Jangan sampai mereka terus menggunakan bahasa Inggris saja, kemudian kita melayani menjadi penerjemah. Itu namanya kita jadi bangsa pelayan. Mereka harus bisa berbahasa Indonesia kalau ingin bekerja di Indonesia," ungkap Subandi.
Subandi juga menyinggung perguruan tinggi yang membuka program atau kelas internasional yang selama ini menggunakan bahasa Inggris, juga harus diberlakukan ketentuan itu.
“Kelas internasional yang ada di Indonesia semestinya tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar meskipun kurikulumnya internasional,” tegas Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto ini pada wartawan.
MARZUKI ALIE PERNAH MENGUSUL
Jauh sebelum angin perdagangan bebas ASEAN atau dikenal dengan MEA ini berhembus jauh sebelumnya Ketua DPR RI yang saat itu dijabat Marzuki Alie, pernah mengusulkan agar Bahasa Indonesia dijadikan salah satu bahasa resmi yang digunakan dalam pertemuan-pertemuan negara ASEAN.
Usulan itu disampaikannya dalam sesi pleno pertama Sidang Umum ke-31 ASEAN Inter Parliamentary Assembly (AIPA) di Hanoi, Vietnam, 21 September 2010.
“Penggunaan Bahasa Indonesia akan membuka kesempatan kepada bahasa lain untuk menjadi bahasa kerja dalam AIPA,” jelas Marzuki seperti dilansir dari situs resmi DPR RI Rabu, 22 September 2010.
Kala itu pentolan Partai Demokrat itu pun mengajukan diri agar Indonesia dapat menjadi tuan rumah pada penyelenggaraan Sidang Umum Majelis Antarparlemen ASEAN (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly atau dikenal dengan AIPA, yangke-34 pada 2013.
Juga terungkap bahwa usulan mengenai penggunaan Bahasa Indonesia dalam sidang-sidang AIPA telah mengemuka sejak awal kedatangan Delegasi DPR RI ke Hanoi, Vietnam. Pada 20 September lalu, dalam pertemuan komite eksekutif AIPA, Indonesia telah menyampaikan usulannya untuk mengamandemen statuta AIPA agar Bahasa Indonesia masuk dalam bahasa kerja AIPA selain Bahasa Inggris.
Sebelumnya pada Sidang Umum ke-31 AIPA digelar 20 - 24 September 2010 di Hanoi, Vietnam dan dihadiri delegasi dari 10 negara anggota AIPA, 8 pengamat, Sekretariat ASEAN dan Sekretariat AIPA, Indonesia berupaya mengusulkan agar Bahasa Indonesia dijadikan salah satu bahasa resmi yang digunakan dalam pertemuan-pertemuan negara ASEAN.
“Usulan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN) waktu itu sudah diterima oleh seluruh delegasi. Karena apa, Thailand salah satunya menggunakan bahasa Indonesia, Filipina Selatan, Malaysia, Singapura, Brunei juga menggunakannya. Jadi hampir sebagaian anggota (ASEAN) berbahasa Indonesia,” kata Marzuki Alie pada wartawan saat itu. (*/Fahlevi)