Oleh: Dr. Siska Elvandari, SH, MH
(Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas)
Sudah menjadi kewajiban negara untuk melindungi dan melayani rakyat/ warga negara sebagai konsekuensi niscaya dari tujuan dan fungsinya. Hubungan dengan rakyat melahirkan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi negara.
Kewajiban yang timbul sebagai konsekuensi hubungan antara negara dan rakyat luas dan beragam, salah satunya kewajiban hukum yang lahir karena klaim HAM. Tujuan dan fungsi negara dalam hubungan dengan rakyat/warga negara pada hakekatnya diselenggarakan oleh pemerintah selaku entitas hukum personifikasi negara. Kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan negara mem berikan petunjuk bahwa Indonesia merupakan negara berdasarkan atas hukum yang menganut faham negara kesejahteraan.
Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Negara hukum mempunyai ciri-ciri tertentu, seperti pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia, peradilan yang bebas dan tidak memihak, legalitas tindakan negara/pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Penjelasan mengenai Indonesia sebagai negara hukum terdapat dalam Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), dalam Pasal 1 Ayat (3) mempertegas konsep bernegara Indonesia, dengan menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dikatakan mempertegas, karena sebetulnya sebelum perubahan UUD 1945 yang dapat dijadikan landasan berpijak untuk menyatakan Indonesia sebagai Negara hukum, yaitu Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar (UUD 1945) tentang Sistem Pemerintahan Negara. Mempertegas keberadaan konsep negara hukum dalam UUD 1945 membuktikan, prinsip negara hukum dipandang sebagai sesuatu yang essensial keberadaannya. Sampai saat ini konsep negara hukum merupakan suatu gagasan bernegara yang paling ideal. Gagasan negara hukum ini telah berkembang sejak Plato menulis Nomoi atau bahkan jauh sebelum ini.
Sebagai ciri sebagai sebuah negara hukum, maka dibutuhkan peran serta pemerintah dalam perlindungan hak asasi manusia. Di sepanjang sejarah belum pernah ada negara yang didirikan dengan maksud secara eksplisit untuk menyengsarakan rakyatnya. Tujuan negara-negara umumnya sama, meskipun cara mencapainya lain-lain, yakni kebaikan bersama (common good). Teori Locke menjadikan perlindungan hak-hak kodrati sebagai basis pendirian negara, setiap orang tunduk terhadap kekuasaan negara sepanjang dilakukan untuk menciptakan perdamaian, keamanan dan kesejahteraan umum atau melindungi hak-hak kodrati rakyat. Hak-hak kodrati rakyat yang harus dilindungi negara, yang tidak terpisahkan dari manusia sejak keadaan alamiah atau state of nature, yaitu Life, Liberty and Estate. Negara memperoleh legitimasi kekuasaannya dari rakyat hanya karena kepercayaan bahwa negara akan merealisasikan hak-hak asasi rakyatnya.
Upaya negara untuk merealisasikan hak-hak asasi rakyatnya dapat terlihat bahwa Indonesia meratifikasi Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration Of Human Right). Pada 10 Desember 1948, Deklarasi Universal tentang hak-hak asasi manusia (The Universal Declaration Of Human Right), diterima dengan suara bulat oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN). Deklarasi ini berisikan hak-hak yang pada garis besarnya terdiri atas 2 macam yaitu pertama, hak-hak yang berhubungan dengan hak sipil dan hak politik, antara lain, hak untuk hidup, kebebasan, hak tentang keamanan pribadi, hak tentang kebebasan dasar untuk menyatakan pendapat, ungkapan, pikiran, suara hati, dan agama, dan hak tentang kebebasan untuk berkumpul dan bersidang. Kedua, hak-hak yang berhubungan dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya, antara lain hak tentang pekerjaan, kehidupan yang pantas, pendidikan, kebebasan hidup berbudaya.
Tiga setengah tahun sebelum PBB mengumandangkan “Universal Declaration Of Human Rights”, Negara Republik Indonesia telah mensahkan Undang-Undang Dasar 1945, yang sekalipun bersifat singkat, namun supel, tetapi telah memuat aturan-aturan pokok sebagai garis-garis besar dalam bentuk instruksi kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Peranan Pemerintah dalam menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan, meskipun negara Indonesia sebagai bekas negara jajahan, harus mampu memperjuangkan bukan hanya hak-hak politik, melainkan juga hukum dan keadilan sosial, antara lain hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang berkenaan dengan itu. Perlu diingat, bahwa kesemuanya ini tidak diperoleh dengan cuma-cuma, melainkan melalui perjuangan fisik yang tidak kenal menyerah, jadi sebelum Majelis Umum PBB memujikan hak-hak asasi manusia ini kepada negara-negara untuk diimplementasikan, Negara Republik Indonesia sudah mendahuluinya dengan memasukkannya ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, dimana hak asasi manusia termasuk salah satu diantaranya adalah kesehatan.
Pengertian kesehatan yang otoritatif diberikan WHO (World Health Organization). WHO mengartikan kesehatan dalam arti luas tidak sebatas ketiadaan dari suatu penyakit.
Menurut WHO kesehatan atau health adalah “a state of complete physical, mental and social well being and not merely the absence of disease or infirmity” (Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis). Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar (staatfundamental norm) secara jelas mengatur tentang garis-garis pokok dari hukum Indonesia, dan merupakan sumber dasar tertulis Negara Republik Indonesia yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. UUD 1945 telah mengalami 4 kali amandemen.
Pada naskah UUD 1945 yang asli (sebelum amandemen) tidak tertulis kata “kesehatan”. setelah aman demen, kata “kesehatan” muncul pada Pasal 28 dan Pasal 34. Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945 telah ditetapkan antara lain setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, demi meningkatkan kualitas hidupnya, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal 34 Ayat 3 Perubahan Keempat UUD 1945 berbunyi: “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”
Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak merupakan salah satu hak atas kesehatan. Hak atas kesehatan, pada dasarnya memandang kesehatan sebagai isu HAM dan hukum. Kesehatan sebagai isu hukum dan isu hak asasi manusia tetap bermuara dan bertujuan akhir dalam upaya memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Pengakuan dan perlindungan terhadap Harkat dan Martabat manusia merupakan Anugrah dari Sang Maha Pencipta terhadap umat manusia atas Kesehatan. yang semua menjadi tujuan yang hendak di capai yang sesuai dengan landasan filosofis Bangsa Indonesia yang termuat dalam Pembukaan Undang-Undang 1945 dan Pancasila Sila Kedua yang menyatakan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
Kemanusiaan yang adil dan beradab tentunya dapat terwujud jika setiap kita yang menjadi seorang warga negara sudah sadar akan hak atas kesehatan, yang kemudian hak ini menjadi tanggung jawab kita bersama baik selaku individu, masyarakat, dan warga negara yang berperan aktif terhadap negara. Negara berperan aktif untuk mengukur derajat kesehatan yang optimal atas warga negaranya, karena jika tinjau dari usaha pemerintah sudah banyak melakukan upaya pembangunan hukum khususnya hukum kesehatan yang dimulai dengan lahirnya Undang-undang No.23 Tahun 1992 juncto Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang kemudian diikuti dengan lahirnya Undang-Undang lainnya seperti : Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, tentunya derajat kesehatan yang optimal ini menjadi titik sentral dalam upaya pemberian pelayanan kesehatan.
Saat ini, upaya pemberian pelayanan kesehatan di dunia dan di Indonesia secara khususnya telah ternodai dengan munculnya Pandemik Covid 19 (Corona Virus Diseases 19). Pasien yang terdiagnosis sedang terpapar Covid 19 yang menjadi momok menakutkan bagi seluruh dunia. Kasus Covid-19 pertama kali terkonfirmasi di Korea Selatan pada 20 Januari 2020. Ketika seorang warga China (35 tahun) yang baru terbang dari Wuhan diisolasi di bandara Incheon, Korea Selatan. Korsel mampu menangani penyebaran wabah ini dengan baik. Dalam 4 minggu hanya 30 orang yang terinfeksi. Tapi ini semua berubah drastis ketika ditemukan pasien No. 31, yang tidak mengikuti alur “isolasi diri”, sehingga ibu tersebut bertanggung-jawab terhadap 6 ribu orang lebih yang terinfeksi terpapar Covid 19.
Di Malaysia, tabligh akbar yang diselenggarakan oleh Jamaah Tabligh di Masjid Sri Petaling Kuala Lumpur pada 28 Februari hingga 1 Maret menjadi sumber penularan virus Corona. Hampir 2/3 dari total 673 kasus Covid-19 di Malaysia terkoneksi dengan acara tabligh akbar tersebut. Dari total 16 ribu jamaah yang hadir dalam tabligh akbar tersebut, 1.500 diantaranya berasal dari luar Malaysia, termasuk 700 orang dari Indonesia, 200 orang dari Filipina dan 95 orang dari Singapura, Malaysia pun menjadi hot spot penyebaran virus Corona di Asia tenggara.
Pada 9 Maret, Brunei mengumumkan kasus Covid-19 pertama di negara tersebut, seorang jamaah (53 tahun) yang ternyata mengikuti tabligh akbar di Malaysia. Satu minggu kemudian kasus Covid-19 di Brunei melonjak menjadi 50 orang, dimana 45 orang di antaranya adalah peserta tabligh akbar di Malaysia. Yang lebih memiriskan hati, ketika ada 12 WNI yang terinfeksi Covid-19 di Malaysia, dan semuanya adalah peserta tabligh akbar. Pada 17 Maret 2020, warga Malaysia (34 tahun) peserta tabligh akbar meninggal dunia, sehingga kasus kematian di Malaysia, Pemerintah Malaysia memutuskan dan mengumumkan lockdown, sebagai solusi untuk menyikapi pencegahan terhadap Covid-19.
Di Indonesia, per-hari ini sudah 450 kasus terkonfirmasi dengan jumlah kematian sebesar 38 orang. Hasil studi teman-teman di jurusan Matematika FMIPA ITB, menunjukkan profil epidemi di Korea Selatan adalah yang paling mirip dengan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Hasil simulasi berdasarkan kurva Richard, puncak epidemi di Indonesia diproyeksikan akan terjadi pada akhir Maret dan berakhir pada pertengahan April, dengan jumlah kasus lebih dari 8.000. Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Rabu, 18 Maret 2020, panitia mengkonfirmasi sudah 8.694 jemaah yang hadir, termasuk 411 orang Warga Negara Asing (WNA) dari 9 negara, setelah koordinasi yang alot antara pemerintah dan panitia, akhirnya acara dibatalkan. Pemprov Sulawesi Selatan mengisolasi 411 WNA, sementara 8 ribu peserta lainnya secara bertahap pulang ke daerahnya masing-masing.
Bupati Bogor mengkonfirmasi seorang ibu (67 tahun) meninggal akibat tertular dari anaknya yang masih muda (35 tahun). Anaknya ini tertular dari pasien no.1 asal kota Depok. Keberadaan Covid-19 ini tidak diketahui sampai 3 minggu kemudian. Kontak pertama sang anak dengan pasien no. 1 pada 25 Februari. Ia sempat demam, namun tiga hari kemudian sembuh. Pada 28 Februari ia tetap masuk kerja dengan menggunakan transportasi umum, ojol, KRL, MRT dan Transjakarta. Pada 7 Maret 2020 yang bersangkutan mulai merasakan napas berat lalu diperiksa darah oleh RS Persahabatan.
Selanjutnya, pada 14 Maret 2020 dilakukan pemeriksaan kembali, lalu pada 16 Maret 2020 yang bersangkutan mengeluh sakit sendi.
Adapun ibunya, pada 27 Februari mengikuti sebuah seminar di Jakarta. Esoknya ia terkena diare dan 29 Februari, yang bersangkutan periksa ke dokter di Jakarta.
Kemudian minum obat selama 4 hari tapi belum sembuh. Kontrol lagi, minta dirawat ke rumah sakit, saat itu didiagnosa typhoid. Lalu pada 10 Maret 2020, yang bersangkutan dirawat di rumah sakit. Setelah diuji lab dan rontgen paru, ada infeksi baru dengan diagnosa pneumonia. Tanggal 14 Maret sang ibu dites, dan 16 Maret keluar hasilnya positif Covid-19. Dua hari kemudian sang ibu dinyatakan meninggal dunia. Pertanyaan kemudian siapakah yang bertanggung jawab atas banyaknya korban yang meninggal karena pandemic ini.
Penulis mengapresiasi kinerja pemerintah khususnya instansi terkait dalam upaya pencegahan dan penanggulangan Covid 19 ini. Dokter, tenaga kesehatan dan rumah sakit yang ditunjuk menjadi rumah sakit rujukan untuk menampung seluruh pasien dalam pemberian upaya kesehatan. Kenapa saya begitu mengapresiasi? Semua dikarenakan pemberian upaya kesehatan harus sesuai dengan ketiga standar, yakni Standar Pelayanan, Standard Operational Procedure (SOP), dan standar profesi. Saya pikir semua sudah terlaksana dengan baik sesuai dengan amanah undang-undang No.23 tahun 1992 juncto undang-undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, yang dalam bagian utamanya juga termasuk pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan bertujuan mengurangi penderitaan memperpanjang kehidupan dan mendampingi pasien sampai akhir kehidupannya dan semua hukum di muka bumi hanya untuk 1 tujuan yakni memberikan perlindungan terhadap kejahatan tubuh dan nyawa.
Banyaknya nyawa yang hilang pada hari ini atas kasus covid 19 ini di saat dokter, tenaga kesehatan dan rumah sakit sudah melakukan upaya kesehatan kita tidak bisa luput dari “ruh” pelayanan keseharan yakni “transaksi terapeutik”, yakni wawancara pengobatan atas pasien yang mengalami gangguan kesehatan, yang bersumber dari Pasal 1313 KUH Perdata yang dikenal inspanning verbintennis. Jika disederhanakan perikatan upaya dalam penyembuhan.
Yang menjadi point penting di sini “proses pengobatan atau upaya pengobatan”, bukan hasil. Ketika kita bicara “hasil” tentunya ini semua bukan menjadi wilayah kita melainkan wilayah Allah. (*)