mjnews.id - Jumlah hotel di Indonesia yang menutup sementara operasionalnya karena tak lagi memiliki pengunjung semakin bertambah. Berdasarkan keterangan dari Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Rainier H Daulay, saat ini sudah 826 hotel terpaksa menutup operasionalnya.
Jumlah tersebut bertambah dari data Rabu (1/4/2020), yakni 698 hotel. Dengan demikian, terjadi penambahan sebanyak 128 hotel.
“Sementara sampai hari ini (kemarin, red) di Bali 56 hotel yang hotel besar. Seluruh Indonesia per hari ini yang menutup sudah 826 hotel. Namanya ya karena dampak corona ini, setiap hari juga bertambah,” ungkap Rainier kepada detikcom, Kamis (2/4/2020).
Menurutnya, hotel di Jakarta-lah yang paling parah terkena dampak corona ini. Statusnya sebagai zona merah menyebabkan kunjungan ke hotel di Jakarta menurun drastis.
“Prediksi bilang di Bali paling parah nggak juga. Tapi seluruh Indonesia. Corona ini penyakit yang ada di seluruh dunia. Masuk ke Indonesia, karena Bali pusat destinasi wisata, itu duluan yang terdengar. Padahal jumlahnya lebih banyak Jakarta,” jelas Rainier dikutip detikFinance.
Sebelumnya, Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani mengatakan, penurunan okupansi yang drastis dan berlangsung sangat cepat menyebabkan 698 hotel di seluruh Indonesia menutup sementara operasionalnya.
“Ada 698 hotel sudah tutup, itu di seluruh Indonesia,” ungkap Hariyadi, Rabu (1/4/2020).
Dihubungi secara terpisah, Sekjen PHRI Maulana Yusran menuturkan, saat ini tingkat okupansi hotel di Indonesia sudah di bawah 9%. Karena tipisnya jumlah pengunjung, akhirnya ratusan hotel terpaksa menutup operasionalnya untuk sementara.
“Mereka punya banyak pertimbangan mana yang lebih baik, apakah menutup atau tetap buka. Karena mereka juga punya subsidi operasional di dalam itu,” jelas Maulana kepada detikcom melalui sambungan telepon.
Nasib Pegawai Hotel
Lebih jauh Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengungkapkan, dengan tutupnya ratusan hotel di Indonesia, maka perusahaan terpaksa mencutikan para karyawannya tanpa digaji.
“Jadi perusahaan menerapkan cuti di luar tanggungan perusahaan, unpaid leave, cuti yang tidak dibayarkan. Itu yang terjadi seperti itu karena perusahaan tidak punya dana cash yang cukup,” tutur Hariyadi.
Sementara, Sekjen PHRI Maulana Yusran mengungkapkan, PHK sudah mulai terjadi di bisnis perhotelan, contohnya di Jakarta yakni Hotel Aryaduta, dan di Bali.
“Iya betul. Saya nggak tahu detailnya, tapi saya sudah dengar terjadi PHK di sana,” ujar Maulana kepada detikcom, Selasa (31/3/2020).
Minta Diskon Listrik
Sementara itu, pemerintah telah menetapkan kebijakan pembebasan pajak bagi hotel dan restoran di 10 destinasi pariwisata (33 kabupaten/kota) akibat penurunan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) di tengah penyebaran virus corona (Covid-19). Untuk itu, pemerintah pusat menggelontorkan Rp3,3 triliun kepada pemerintah daerah (Pemda) di 10 destinasi tersebut karena tak memperoleh penerimaan pajak mulai Maret-Agustus 2020 dari hotel dan restoran.
Namun, menurut Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran, insentif itu tak lagi relevan untuk saat ini.
“Waktu itu kan Indonesia belum ada suspect Covid-19, yang kena adalah wisman. Nah pemerintah berpikir akan memberikan insentif untuk menggerakkan pasar domestik, dengan itu dinolkan pajak hotel dan restorannya, jadi nggak ditagih. Kemudian Pemda yang tadinya menerima, digantikan dana hibah, ada 33 kabupaten/kota. Namun, begitu ada suspect itu sudah tidak relevan lagi,” kata Maulana.
Ia berpendapat, meski pajak telah dibebaskan pun hotel dan restoran di Indonesia memang sudah tak dapat pemasukan. “Kami mau dinolkan pun pajak hotel dan restorannya, tamunya nggak ada. Justru yang lebih penting meringankan beban utilitas kita,” tutur Maulana.
Ia pun mengusulkan pemerintah memberikan bantuan langsung pada pengusaha di sektor tersebut. Salah satunya mengurangi beban utilisasi di perhotelan atau restoran yang menjadi salah satu sumber pemasukan industri pariwisata.
Ia menuturkan, cara mengu rangi beban utilitas untuk sektor perhotelan utamanya yakni dengan memberikan kelonggaran tarif listrik minimum.
“Listrik itu kan ada yang mengenakan perhitungan minimum, jam hidup namanya. Kalau dikenakan itu, kan pemakaian listrik juga nggak maksimal, karena tamunya kan nggak maksimal. Kita minta tolong dihilangkan perhitungan itu. Jadi berapa yang kita pakai, itulah yang kita bayar,” urainya.
Ia pun meminta tarif listrik bulanan dari hotel yang tengah babak belur ini diberikan diskon. “Tolong kita dikasih diskon. Karena pemakaian kita kan cukup besar. Sedangkan, daya yang kita miliki tidak cocok lagi dengan revenue kita. Tentu kita wajar dong kali ini minta diskon,” imbuh dia.
Begitu juga iuran bulanan pemakaian gas, serta penarikan pajak lainnya oleh pemerintah daerah (Pemda). “Utilitas itu termasuk gas. Dan gas dolarnya sudah naik. Nah hal lain terhadap utilitas itu di daerah. Jadi daerah seharusnya berpikir, tolong digratiskan dulu. Kan ini nanti modal mereka untuk recovery juga. Pajak-pajak daerah itu dikurangi dulu deh. Kita fokus situasinya ke COVID-19. Kita fokus ke sana dulu,” tegas Maulana.
Maulana juga meminta pemerintah menanggulangi dampak corona ini yang menggerus nasib karyawan di sektor perhotelan. Dengan tutupnya 698 hotel di Indonesia, para pegawai terpaksa dirumahkan tanpa digaji (unpaid leave).
Untuk menangani dampak unpaid leave lebih besar kepada tenaga kerja di sektor perhotelan, ia meminta pemerintah mengeluarkan bantuan. Misalnya membebaskan iuran asuransi kesehatan sementara waktu.
“Kalau kita sudah melakukan unpaid leave, perusahaan itu kan laporannya jadi nggak benar. Akhirnya fasilitas kesehatan terhadap tenaga kerja mereka kan mati. Minimal laporannya dibaikkan dulu. Nah kemudian BPJS-nya diberi relaksasi, nggak usah dibayar. Jadi mereka walaupun di-unpaid leave masih bisa menikmati faskes tersebut. Itu penting,” sebut Maulana.
Bahkan, pihaknya juga mengusulkan pencairan dana jaminan hari tua (JHT) dalam waktu dekat. Langkah itu menurutnya dapat menolong pegawai terdampak dalam krisis yang diakibatkan pandemi corona ini.
“Bahkan ada dari mereka yang mengusulkan kalau bisa tunjangan hari tuanya boleh dicairkan deh. Karena mereka hopeless, berharap mendapat pemasukan, sehingga mereka masih punya uang untuk hidup mungkin another 3 months. Kan kasihan, tapi kondisi perusahaan kan sebenarnya nggak tega juga sama karyawan, tapi itu kondisi yang ada. Kita hidup berdasarkan cash harian loh ini,” tutupnya. (*/eds)