Oleh: ABDULLAH KHUSAIRI
Wabah Covid-19 telah menunjukkan banyak hal kepada kita. Salah satunya, betapa gagap pemerintah menangani persoalan di luar program kerja yang sudah disusun sepanjang tahun. Begitu lemah standar menghadapi wabah dan bencana sehingga kalang-kabut.
mjnews.id - Pejabat publik berbeda pendapat di ruang publik itu menandakan betapa buruk komunikasi organisasi internal pemerintah dalam menghadapi masalah!
Bukan bermaksud untuk menangisi waktu yang berlalu, hanya saja ini bisa dipakai di masa depan. Wabah ini sudah terjadi tiga bulan sebelumnya di Wuhan. Pada saat itu, di sini, kita sudah begitu banyak berpendapat hilir-mudik. Bukannya menyiapkan perangkat standar yang harus dikerjakan. Perbedaan itu pada dasarnya lumrah dan baik bila mana dikelola untuk menghasilkan produk pemikiran yang menjadi kebijakan. Basilang kayu di tunggu mako api manjadi.
Wabah Covid-19 bukanlah hal baru, hanyalah peristiwa yang berulang dalam ragam yang berbeda. Kitalah saja yang tidak banyak membaca sejarah, sehingga tidak melahirkan persiapan-persiapan jika ia tiba di hadapan kita. Seterusnya, kita gagap menyiapkan diri. Abai seabai-abainya. Sudah kena, baru heboh-sehebohnya. Apalagi di media sosial, semua hendak jadi pakar. Pemerintah yang gagap itu bukannya disupport tetapi dibully. Ini dugaan saya, residu dan ampas-ampas politik identitas masih ada. Kini bergelora kembali, kesempatan telah tiba.
Ke-Indonesiaan tak henti diguncang masalah politik identitas ini. Wabah Covid-19 yang seharusnya dihadapi dengan nalar kebencanaan dan kemanusiaan bagi sebagian publik yang masih terpapar politik identitas itu, dimanfaatkan.
Sudahlah, itu buruk! Pemerintah memang mengalami kegagapan, hasil dari seperangkat proses yang kita anggap demokratis. Mestinya kita bantu untuk membangun optimisme dalam menghadapi makhluk kecil bernama Virus Corana itu. Hentikan perdebatan yang tidak produktif.
Pemerintah juga, yang pejabat-pejabatnya, seharusnya berpikir ke-Indonesiaan, sering sekali mengeluarkan ungkapan yang tidak menjinakkan keliaran berpikir publik. Beberapa pejabat justru berpikir tidak sangat Indonesia, terjebak cara berpikir yang Jakarta-Jawa. Ini ironis! Tidak boleh mudik, tidak boleh ini-itu, semua tidak boleh. Kata motivator ulung, pakai kalimat aktif dan positif! Memakai kalimat negatif, hasilnya bisa negatif.
Pejabat kita sudah pontang-panting bekerja, siang malam. Rapat ke rapat. Lalu menghasilkan kebijakan. Kita juga harus hormati itu, walau hasilnya memang kadang-kadang tidak sesuai ekspektasi, berdampak beda dengan tujuan semula. Bersebab begitu panjang jalur birokrasi dibuat sehingga sering melenceng sebelum tiba ke tujuannya.
Menghadapi Covid-19 teramat sederhana jika ingin disederhanakan: Kepatuhan publik! Bagaimana membuat publik patuh terhadap aturan demi kesehatan tersebut? Itulah yang tak dimiliki pemerintah. Perangkat sosialisasi, penanganan dengan profesionalitas, layanan yang memuaskan, itu amat langka ditemukan di lembaga pemerintah. Ini juga masalah yang kian ruwet. Selama ini, orientasi pekerjaan terhadap program kerja pembangunan hanya asal jadi, yang penting laporan baik ke atas. Artinya, ada yang salah dari dalam diri, inilah salah satu pangkal keriuhan.
Kepatuhan publik itu berhubungkait dengan kepercayaan terhadap kualitas layanan. Jangankan dapat dirasakan, kelihatan saja tidak. Pejabatnya lebih banyak adu argumen dari pada bekerja nyata, menjalankan komitmen pembangunan. Ini sudah terjadi jauh sebelum Covid-19 tiba. Jika saja standar layanan dan kampanye masif, misal keharusan hidup bersih, hidup sehat, hidup damai, sukses dijalankan, tentu saja Indonesia tidak segagap ini.
Bukan tidak ada pejabat pemerintah yang memiliki reputasi baik, bagus, dan kuat dalam bekerja. Hanya saja, optimisme yang dibangunnya justru tenggelam dalam hiruk-pikuk gagal paham hampir seluruh aparatur. Sikap mental kerja yang mengabaikan nurani, menghasilkan setiap program yang asal jadi. Kualitas yang jauh dari harapan.
Tetapi ya sudahlah, kini waktunya membuang ego, mengakui kerja abai itu. Para dokter harus disupport. para sosiolog diajak berpikir, cendikiawan mesti didengar, janganlah pemerintah merasa hebat dan kerja sendiri. Itu hanya akan membuat pemerintah, baik pusat maupun daerah, akan terjerembab lebih jauh.
Tergerusnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dan kehadiran negara di bathinnya. Sebab, begitu banyak rentetan kekecewaan yang didapatkan akhir-akhir ini. Naiknya BBM, antrian mengular, macet tak pernah beres, harga barang terus naik, suku bank tak pernah turun, subsidi dicabut, semua itu tumpah ketika kegalauan menghadapi masa depan dengan adanya wabah Covid-19.
#DirumahAja
Kita dianjurkan agar di #DirumahAja. Tidak kemana-mana. Pemerintah sudah benar menganjurkan itu, tetapi timpang dalam hal lain. Tidak menyadari, terlalu lama #DirumahAja ada masalah sosial, ekonomi, juga budaya. Baca saja tulisan Khairul Jasmi di harian ini, Di rumah Saja Tak Semanis Imbauan. Penuh satire dan ironi kehidupan kita di rumah.
Apakah itu terbaca dan dipahami oleh pemerintah?
Hampir dipastikan, tidak terjangkau. Bersebab berpikirnya tidak didasari dengan filosofi kehidupan masyarakat, tidak berbasis pembacaan dan kajian dari sosiolog, tidak mengajak cendekiawan dalam berpikir. Ajakan ini harus juga dibarengi kesiapan-kesiapan ajakan lain dan kebijakan penunjang. Inilah yang tidak ada.
Kekuasaan memang manis dan sangat adiktif, ia menggerus nilai-nilai dan segenap metode berpikir kreatif yang melahirkan sesuatu hal untuk kebaikan. Kekuasaan cenderung dipertahankan dari serangan-serangan pikiran baru, usulan-usulan yang dicurigai akan menggerogoti kekuasaan.
Hal demikian inilah yang membuat pejabat dan aparatur pemerintah hendak bekerja sendiri, menganggap persoalan sosial selesai dengan metode berpikir yang dimilikinya.
Kegaduhan juga dimulai dari sini. Sebuah kebijakan tidak melewati sarat dan rukun, struktur dan sistem, hingga sampai pada kesimpulan yang akan berterima dengan nurani public. Pemikiran yang sepihak akan tampak geogratif, tidak bisa berlaku kepada daerah lain, padahal Indonesia begitu luas.
Pengalaman beberapa kali bencana gempa, antarsektor di pemerintah memang begitu sering mengalami misskomunikasi, akibat dari ego personal, pemahaman kepentingan publik yang berbeda, kepentingan lembaga berbeda, kepentingan nama baik, ingin jadi pahlawan, serta hal-hal lain yang senyatanya secara umum mengabaikan penanganan korban bencana.
Urusan serupa ini membutuhkan kepemimpinan yang kokoh, kuat, kharismatik, bukan pemimpin yang kacang-kacangan. Hari-hari ke depan, kita masih #DirumahAja dengan membangun optimisme sendiri, sembari menikmati kegagapan-kegagapan baru yang harusnya tidak terjadi.
Semoga kita kuat, selamat dari serangan Covid-19. Amin. (*)