Oleh: YURNALDI
(Wartawan Utama,
Penulis buku-buku Jurnalistik)
Saat wabah covid-19 terus merajalela dan menelan korban, kawan kawan (wartawan) media adalah yang terdepan. Ada juga yang berjibaku, bertungkus lumus tanpa jaminan keselamatan. Sebanyak yang dipujikan kinerjanya, sebanyak itu pula yang disesali/diomeli karena dinilai melebih-lebihkan informasi dan/atau hoaks. Tidak akurat, tidak cover all side, miskin data.
mjnews.id - Berlebihan memuji juga tak elok, karena fakta di depan mata tak bisa dibohongi. Banyak hal yang harus diingatkan dan dikritisi. Jangan dipandang, wartawan/media yang kritis sebagai tak benar, hoaks, antipemerintah dan segala cap jelek lainnya. Wartawan tak melulu tukang kopipaste siaran pers. Sejatinya wartawan itu mencari, mengolah berita agar informasinya bermakna.
Ada wartawan yang tak kompeten, benar dan itu banyak. Ada wartawan bekerja tak sesuai etika jurnalistik, tak paham jurnalistik bencana/wabah dan konflik, juga banyak. Ada wartawan menampilkan narasumber siapa saja walau itu bukan wewenang dan tanggung jawab yang bersangkutan, itu benar. Mungkin itu bagian dari fenomena “berita berbayar”, maksudnya ada uang ada berita. Kalau itu menyebabkan informasi kacau, miskin data, tak berimbang, tak jelas siapa pegang komando, semua karena itu.
Masyarakat terpapar informasi yang menakutkan. Mencemaskan. Semakin rasa takut dan cemas itu berkembang biak dan menahun, di situlah masyarakat semakin lemah dengan pertahanan dirinya. Akhirnya ikut terpapar sakit. Dan di masa sekarang bisa saja dicurigai sebagai korona.
Adakah yang bertanya dan mempertanyakan; apakah wartawan dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai? Apakah wartawan dijamin kesejahteraannya oleh perusahaan? Atau, karena gampang buat media dan siapa saja bisa jadi wartawan, dan dengan berpandai-pandai bekerja seadanya, sehingga semuanya jadi “terserah apa maunya”.
Adakah yang bertanya dan mempertanyakan bagaimana peran organisasi wartawan, peran pengusaha media memperjuangkan banyak hal sehingga semuanya lebih baik? Termasuk memperjuangkan kesejahteraan wartawan, misalnya?
Karena tak memikirkan hal-hal yang urgen dengan masa depan media dan jurnalisnya, makanya media sejak beberapa tahun belakangan banyak yang sudah tutup buku. Tak terbit lagi. Yang ada sekarang juga terancam gulung tikar. Mungkin saja terlambat dan/atau tak siap menghadapi kemajuan teknologi informasi. Mungkin saja tak siap dengan SDM yang profesional. Namun demikian, banyak juga media baru yang muncul, bahkan sebagian dengan cepat mengambil hati pembaca. Rating medianya bagus.
Nah, terkait dengan betapa penting dan perlunya wartawan/media, betapa mulianya profesi wartawan dengan segala plus-minusnya, dalam situasi dan ancaman wabah korona ini, adakah yang peduli dengan nasib wartawan? Apakah pemerintah tahu, bahwa masih banyak wartawan yang masuk kategori miskin, sehingga juga harus menjadi perhatian?
Atau, kalau malu dikatakan miskin karena harga diri dan gengsi, ya apa boleh buat. Jangan banyak menuntut ini-itu untuk kepentingan tugas. Jangan berharap bagian ini-itu ketika pemerintah ada kebijakan untuk rakyat miskin.
Teruslah bekerja dengan tulis ikhlas menyuarakan kebenaran, menyuarakan ketidakadilan, menyuarakan kepentingan orang banyak, demi kemaslahatan umat. Katakanlah yang benar, meskipun pahit. Atau nyawa taruhannya.
Tak perlu sakit hati dengan anggaran untuk para buzzer yang Rp72 miliar (?) itu. Jangan berharap kecipratan dapat keringanan seperti warga miskin yang sudah dipastikan pemerintah itu.
Jika dokter meninggal karena tugas menjadi pahlawan saat ini, mungkin juga wartawan yang meninggal karena tugas, dipandang juga sebagai pahlawan. Akan tetapi itu belum terjadi, belum ada wartawan yang meninggal karena terpapar korona. Namun, ancaman itu selalu ada. Tetap waspada dan hati-hati dalam bekerja.
Beda perlakuan dan perhatian —walau bekerja dengan resiko yang sama saat ini— jangan dipikirkan. Bukanlah di mata Sang Pencipta dan Penguasa Sekalian Alam, seseorang tidak dilihat dari profesinya, tapi amal perbuatannya, dari ketaqwaannya. (***)