Agus Rahardjo |
Liputankini.com-Mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyarankan agar Indonesia meniru Singapura terkait hukuman terhadap koruptor. Menurutnya, hukuman yang diterapkan pemerintah Singapura cukup membuat efek jera bagi para pelaku korupsi.
"Menurut saya tepat apa yang dilakukan oleh Singapura bahwa hukuman koruptor itu bukan mati tapi eksistensi sosialnya yang dimatikan," kata Agus Rahardjo dalam sebuah diskusi virtual terkait hukuman mati bagi koruptor, Minggu (21/2/2021).
Agus menjelaskan, penegakan hukum terhadap pelaku korupsi di Singapura dilakukan dengan memiskinkan harta para koruptor. Dia melanjutkan, harta tersebut dirampas seluruhnya untuk negara, bahkan dilacak dengan seksama jika terkait tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Dia mengatakan, koruptor kemudian diwajibkan untuk membayar kerugian negara akibat perbuatan mereka. Agus meneruskan, selanjutnya pelaku korupsi ditutup eksistensi mereka dari berbagai kehidupan sosial.
"Jadi setelah mengembalikan kerugian negara eksistensi itu ditutup, sampai punya rekening dan punya usaha saja nggak boleh," katanya yang diwartakan republikaonline.
Dia mengatakan, Indonesia memang memperbolehkan memberlakukan hukuman mati berdasarkan Undang-Undang (UU) yang berlaku. Kendati, dia menilai penerapan hukuman mati itu bisa jadi akan membawa efek jera bagi para pelaku korupsi di nusantara.
Dia menjelaskan, hukuman mati bagi para pelaku teroris dinilai kurang efektif menyusul ideologi tertentu yang mereka anut. Dia melanjutkan, berbeda dengan koruptor yang rata-rata berasal dari kelompok menengah ke atas di level pejabat negeri atau pengusaha yang cukup lumayan. "Mereka melakukan korupsi bukan ideologi, jadi bisa saja efektif karena bukan berdasarkan ideologi," katanya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menilai bahwa mantan menteri KKP Edhy Prabowo serta mantan mensos Juliari Peter Batubara pantas dihukum mati. Menurutnya, ada dua alasan pertama, mereka melakukan kejahatan dalam keadaan darurat Covid-19 dan keduanya korupsi dalam kapasitas sebagai pejabat publik. (*)