Muhammad Nizar |
Hal tersebut diucapkan Bupati Lingga, Muhammad Nizar pada peringatan Hari Ibu ke-93, yang dilaksanakan Gabungan Organisasi Wanita (GOW) di lapangan yang sarat sejarah tersebut, Selasa (14/12/2021) malam.
Nizar menegaskan, lapangan yang berada dekat dengan bangunan cagar budaya SDN 001 Lingga ini, merupakan bagian cagar budaya yang tak terpisahkan dari kejayaan Kabupaten Lingga.
Tempat itu pernah jaya dan besar, karena merupakan pusat keramaian, tempat pertujukan, yang usianya sudah tua, bahkan sebelum Lingga menjadi sebuah Kabupaten.
"Hari ini usia Kabupaten Lingga sudah 18 tahun, dan kita jangan sampai melupakan sejarah di sini (lapangan Hangtuah). Di sinilah tempat paling akbar sebagai tempat berkumpul, sejak Lingga sebuah kecamatan," papar dia yang dikutip dari rilis Prokopim, Rabu (15/12/2021)
Mengangkat kembali batang yang tenggelam, dia ingin lapangan tersebut hidup kembali dengan nuansa seni dan sejarahnya.
Dia meminta Dinas Kebudayaan dapat mendeskripsikan sejarah panjang lapangan tersebut, kemudian menjadikannya sebuah papan informasi, untuk diketahui masyarakat.
"Nilai sejarah lapangan Hangtuah harus ada deskripsinya dari tahun berapa atau dari pemerintah sultan mana, agar orang tahu. Kemudian juga deskripsi cagar budaya bangunan sekolah SDN 001 Lingga, yang sudah berdiri sudah ratusan tahun," kata dia.
Pada pemerintahannya bersama Neko Wesha Pawelloy, Nizar ingin lapangan Hangtuah dijadikan alun-alun Kota Daik, dengan harapan dapat tertata dengan baik, karena sarat sejarah.
Penataan kawasan akan dilakukan, melalui Dinas Perkim Kabupaten Lingga tahun depan. Bundaran Tugu Meriam Lela Rentaka akan dihiasi air mancur dan penataan kabel listrik serta taman. Kawasan tersebut juga telah berdiri Videotron, sebagai papan informasi.
"Tepat di belakang saya ada bangunan yang dulunya merupakan Kantor Camat Lingga, kemudian Kantor Bupati Lingga dan sekarang Kantor DPMPTSP. Kalau bangunan ini bukan merupakan cagar budaya, saya ingin bangun ini robohkan kemudian dibangun panggung seni. Ini akan kita FGD kan nanti," kata dia.
"Kemudian radio RBTM, dapat dipusat di Cening, berdirinya panggung nanti. Bangwasan bisa tampil kembali di sini," lanjut dia.
Mengutip ulasan dari sejarawan Lingga, Lazuardi menyampaikan berdasarkan beberapa informasi yang dia kumpulankan, kawasan ini merupakan pusat Kota Parit berserta alun-alun semasa berpindahnya pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang ke Lingga oleh Sultan Mahmud Ria'yat Syah (1761-1812) pada 24 juli 1787.
Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Muazzam Syah (1832-1841) lokasi di sekitar sini dijadikan bangsal kerajinan Tembaga dan Kampung rumah tenun. Dan pada pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1857-1883) lokasi ini dibangun Sekolah Melayu tahun 1875, serta tempat keramaian masyarakat.
Pada 1900-an, Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang runtuh, sehingga kawasan inipun sempat dijadikan tempat pemakaman etnis Tionghoa, lalu kemudian dipindahkan ke hulu Kampung Sepincan.
Pemanfaatan lapangan ini, mulai kembali dilakukan semasa kemerdekaan Republik Indonesia. Pada pemerintahan Assisten Wedana Haji Moehammad Noer Raoef (1956-1958) tempat ini diberi nama Lapangan Hantuah sebagai pusat keramaian, pertunjukan seni dan pasar malam.
Selain itu, pada sidang penetapan Cagar Budaya 2018, lapangan ini diberi nama Dataran Sultan Mahmud Ria'yat Syah Berdasarkan SK Keputusan Bupati Lingga NO:481/KPTS/XII/2019 tentang Penetapan Situs, Struktur, Bangunan dan Benda Cagar Budaya Lingga. (eka)